"Lihat itu! Si haram lewat..."
"Ih ibunya pelacur, anaknya lalu apa?"
"Yah apa lagi? Nggak jauh dari dunia mengangkang dan goyang pinggul. Mungkin anaknya nanti naik kelas bukan di lokalisasi warung remang-remang kayak ibunya."
"Cih! Keluarga haram..."
"Psst! Jangan keras-keras! Nanti dia dengar terus lapor ke ibunya."
Tidak ada guna, aku sudah mendengarnya. Sejak tadi bahkan. Ibu-ibu itu tidak pandai bergosip. Atau memang esensi dari bergosip adalah membiarkan objeknya tahu bahwa ia sedang digosipkan? Kalau begitu kenapa tidak bicara langsung saja di hadapanku? Di depan mukaku kalau itu perlu, jangan di depan punggungku. Punggungku bukan voice mail...
Orang-orang yang suka membuang waktu itu, aku muak pada mereka! Aku mempercepat langkahku, tidak menoleh sedikitpun kala melintasi tempat mereka duduk dan berbagi berita murahan namun selalu garing dan renyah. Aku harus segera ke warung dan membeli gula seperampat. Ibu akan membuatkan cookies kesukaanku hari ini. Setoples penuh janjinya...
Ah, tapi kenapa telingaku rasanya gatal sekali? Telapak tanganku juga. Rasanya ingin menampar mulut orang-orang itu. Mereka tidak tahu orang seperti apa ibuku.
Aku muak! Rasanya aku harus muntah saat ini juga.
***
Bukan salahku kalau dilahirkan dengan anugerah kulit yang putih sementara rata-rata orang di kampungku, termasuk ibuku, berkulit sawo matang. Bukan aku yang meminta ketika tubuhku menginjak usia remaja dan mulai menampakkan lekuk-lekuknya, lebih dibanding teman-temanku yang lain. Dan bukan harapanku juga kalau aku dilahirkan tanpa ayah.
Lantas, apa semua itu menjadikan aku layak dipanggil calon penerus pelacur? Lantas, karena semua itu aku menjadi haram? Apa salahku hingga aku ini haram?
"Anak haram! Paling berakhir sama dengan ibunya. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."
"Hidupnya itu persoalan mengangkang dan menggoyang pinggul."
Rasa asam dan pahit memenuhi indera perasaku. Aku meludah berkali-kali, berusaha menghilangkan rasa tidak mengenakkan ini, tetapi hasilnya malah semakin asam dan pahit. Ah, sial! Seperti membalurkan garam ke atas luka yang masih basah.
Pelipisku terasa berdenyut-denyut. Apa ku masukkan saja gula ini ke mulutku? Siapa tahu rasanya jadi manis. Ah, bau anyir apa ini yang tiba-tiba menyergapku? Sial! Baunya tajam sekali. Mungkin ini bau dari dosa? Dosa siapa? Dosa anak haram?
Air mataku mulai menetes. Aku terduduk di sebuah ayunan di taman, tidak berani pulang dengan wajah belepotan air mata.
Di hadapanku, beberapa meter di depan sana, terhalang pagar belakang gereja yang tidak seberapa tinggi, Bunda Maria berdiri dengan anggun di guanya. Cantik, suci, bercahaya... Wajahnya tampak tenang, tanpa beban, padahal ia pun harus mengandung tanpa pernah menikah, tanpa pernah bersetubuh, di usia belia. Tapi saat itu, orang-orang di sekitarnya, siapa yang percaya? Beruntung ia kuat, beruntung pula ia punya Bapak Josef yang setia.
"Salam wahai Bunda penghapus duka, suci tidak berdosa. Aku tidak pernah minta dilahirkan haram. Bahkan aku tidak mengerti kenapa aku disebut haram. Tidakkah aku memang tidak punya pilihan lain selain dilahirkan di tempat di mana Dia menginginkan? Seperti Dia meletakkan PutraNya di rahimmu wahai Wanita penuh suka cita? Tolong, katakan padaku, bagian mana dari diriku yang haram?!"
Dan doa terbang, diombang-ambing angin nakal.