Wednesday, 10 October 2012

Malas Mengisi Blog (Lagi)

Akhir-akhir ini sedang malas menulis di blog. Kenapa? Semua ini gara-gara kejadian beberapa hari yang lalu. Ketika itu aku berkunjung ke salah satu toko buku, dan melihat deretan novel-novel remaja terbaru. Tiba-tiba ketika membaca salah satu sinopsis novel yang sekarang ini mulai berkembang tidak lagi menggambarkan isi cerita, namun penggalan kalimat di novel tersebut, aku tersentak. Penggalan kalimat itu, aku kenal betul.

Penggalan-penggalan kalimat itu pernah aku tulis di blogku sewaktu SMA. Persis, karena aku masih ingat betul setiap katanya. Kejadian itu membuatku sedikit malas menulis di blog, tepatnya menulis prosa di dunia maya. Sebab, dunia maya adalah dunia tanpa batas dimana semua orang bebas mengunjungi dan mengambil, tanpa proteksi, dan sering kali tidak menghormati hak cipta.

Ini bukan kali pertama aku harus berurusan dengan hak cipta di internet. Tapi, kejadian ini cukup menyurutkan semangatku menulis di blog. Entah, sepertinya setelah tulisan ini, akan butuh waktu lama untukku menulis di blog ini.

Tapi setidaknya kejadian ini memberiku sedikit kepercayaan diri. Mungkin aku akan mulai menyelesaikan naskahku sendiri, dan menjajakannya ke penerbit. Amin.

Sunday, 7 October 2012

An.Other Dream

Jumat lalu ketika sedang makan di samping RS Borromeus, salah seorang teman bertanya, "Ria, cita-cita kamu tuh apa sih?". Dalam waktu sepersekian detik, aku menjawab dengan dua kata, "Keliling dunia."

Simple. Tapi, dua hari ini tiba-tiba aku kembali memikirkan jawabanku. Benarkah jawaban dari pertanyaan itu hanya cukup aku gambarkan melalui dua kata? Hari ini jawabannya kutemukan, ternyata tidak. Aku punya cita-cita lain, selain keliling dunia.

Sebutlah 'keliling dunia' itu adalah ambisiku, dan mimpiku yang lain, yang satu ini adalah kerinduanku. Cita-citaku yang lain adalah menjadi isteri dan ibu yang baik suatu hari nanti. *blush

Kalau teman-temanku baca kalimat tadi, mereka mungkin akan tertawa dan terkejut. Sehari-hari mungkin aku memang tidak terlihat seperti seorang family woman atau calon ibu yang baik. Maka dari itu, tidak akan banyak orang yang percaya.

Tapi nyatanya sebebas apapun jiwaku, aku tetap seorang perempuan yang memimpikan suatu hari nanti menemukan pria yang tepat, melangkah ke altar, dan mengikat janji di hadapan pastor dan Tuhan. Memiliki sebuah rumah yang nyaman dan hangat, yang akan didekorasi sehingga semua penghuninya merasa betah dan selalu ingin pulang dan pulang. Memasak untuk dia, menunggunya pulang, kemudian makan malam bersama. Something normal menurut ukuran masyarakat.

Aku mau punya dua anak yang lucu. Ingin menyayangi dan mendidik mereka, penuh kasih sayang tetapi tidak memanjakan. Aku sering membayangkan suatu saat bisa membacakan dongeng sebelum tidur untuk anakku, mengajari mereka untuk berani berpendapat dan berpikir logis dengan menceritakan alasan dari pilihan mereka, dan menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan menggemaskan mereka seaneh apapun itu, dengan penuh ketertarikan dan tanpa lelah.

Mungkin pengalaman masa kecil yang menjadikan aku berpikir bahwa ketika aku punya anak nanti, aku tidak mau membiarkan mereka merasa kesepian dan berpikir orang tuanya tidak ada ketika mereka membutuhkannya. Sebuah mimpi yang standar ya? Yang menurut masyarakat memang sudah seharusnya dilakukan oleh semua orang. Tetapi aku tidak mau melakukannya karena sebuah keharusan, aku ingin karena aku ingin.

Memiliki sebuah keluarga yang bahagia, menjadi isteri dan ibu yang baik. Semua itu adalah sebuah kerinduan... Mungkin ini menjelaskan kenapa aku bisa begitu nyaman mengajar di BIA. Mimpi... Saat menulis ini, aku sedang menatap foto sebuah jembatan di Annecy, salah satu tempat yang ingin ku jejakkan kakiku di sana.

Otakku merunut mimpi-mimpiku satu per satu. Membuat list, menentukan target secara halus. Untuk yang satu ini, target yang muncul adalah 'suatu hari nanti'.

Friday, 5 October 2012

#3. Ave Maria

"Lihat itu! Si haram lewat..."
"Ih ibunya pelacur, anaknya lalu apa?"
"Yah apa lagi? Nggak jauh dari dunia mengangkang dan goyang pinggul. Mungkin anaknya nanti naik kelas bukan di lokalisasi warung remang-remang kayak ibunya."
"Cih! Keluarga haram..."
"Psst! Jangan keras-keras! Nanti dia dengar terus lapor ke ibunya."

Tidak ada guna, aku sudah mendengarnya. Sejak tadi bahkan. Ibu-ibu itu tidak pandai bergosip. Atau memang esensi dari bergosip adalah membiarkan objeknya tahu bahwa ia sedang digosipkan? Kalau begitu kenapa tidak bicara langsung saja di hadapanku? Di depan mukaku kalau itu perlu, jangan di depan punggungku. Punggungku bukan voice mail...

Orang-orang yang suka membuang waktu itu, aku muak pada mereka! Aku mempercepat langkahku, tidak menoleh sedikitpun kala melintasi tempat mereka duduk dan berbagi berita murahan namun selalu garing dan renyah. Aku harus segera ke warung dan membeli gula seperampat. Ibu akan membuatkan cookies kesukaanku hari ini. Setoples penuh janjinya...

Ah, tapi kenapa telingaku rasanya gatal sekali? Telapak tanganku juga. Rasanya ingin menampar mulut orang-orang itu. Mereka tidak tahu orang seperti apa ibuku.

Aku muak! Rasanya aku harus muntah saat ini juga.

***

Bukan salahku kalau dilahirkan dengan anugerah kulit yang putih sementara rata-rata orang di kampungku, termasuk ibuku, berkulit sawo matang. Bukan aku yang meminta ketika tubuhku menginjak usia remaja dan mulai menampakkan lekuk-lekuknya, lebih dibanding teman-temanku yang lain. Dan bukan harapanku juga kalau aku dilahirkan tanpa ayah.

Lantas, apa semua itu menjadikan aku layak dipanggil calon penerus pelacur? Lantas, karena semua itu aku menjadi haram? Apa salahku hingga aku ini haram?

"Anak haram! Paling berakhir sama dengan ibunya. Buah jatuh nggak jauh dari pohonnya."
"Hidupnya itu persoalan mengangkang dan menggoyang pinggul."

Rasa asam dan pahit memenuhi indera perasaku. Aku meludah berkali-kali, berusaha menghilangkan rasa tidak mengenakkan ini, tetapi hasilnya malah semakin asam dan pahit. Ah, sial! Seperti membalurkan garam ke atas luka yang masih basah.

Pelipisku terasa berdenyut-denyut. Apa ku masukkan saja gula ini ke mulutku? Siapa tahu rasanya jadi manis. Ah, bau anyir apa ini yang tiba-tiba menyergapku? Sial! Baunya tajam sekali. Mungkin ini bau dari dosa? Dosa siapa? Dosa anak haram?

Air mataku mulai menetes. Aku terduduk di sebuah ayunan di taman, tidak berani pulang dengan wajah belepotan air mata.

Di hadapanku, beberapa meter di depan sana, terhalang pagar belakang gereja yang tidak seberapa tinggi, Bunda Maria berdiri dengan anggun di guanya. Cantik, suci, bercahaya... Wajahnya tampak tenang, tanpa beban, padahal ia pun harus mengandung tanpa pernah menikah, tanpa pernah bersetubuh, di usia belia. Tapi saat itu, orang-orang di sekitarnya, siapa yang percaya? Beruntung ia kuat, beruntung pula ia punya Bapak Josef yang setia.

"Salam wahai Bunda penghapus duka, suci tidak berdosa. Aku tidak pernah minta dilahirkan haram. Bahkan aku tidak mengerti kenapa aku disebut haram. Tidakkah aku memang tidak punya pilihan lain selain dilahirkan di tempat di mana Dia menginginkan? Seperti Dia meletakkan PutraNya di rahimmu wahai Wanita penuh suka cita? Tolong, katakan padaku, bagian mana dari diriku yang haram?!"

Dan doa terbang, diombang-ambing angin nakal.

Wednesday, 3 October 2012

Luminaria

Taruhan denganku,
aku akan merindukan binar di mata itu. Waktu kamu menceritakan rancangan masa depanmu, menjabarkannya satu per satu. Melalui obrolan-obrolan malamlah aku belajar mengenalimu. Mengenali apa yang kamu suka dan tidak, kemana kamu ingin pergi ataupun tidak. Kamu tahu? Detail informasi sekecil apapun menjadi sangat berharga bagiku. Bahkan aku hapal bahasa tubuhmu, mampu menerjemahkannya meski aku tidak pernah membiarkanmu tahu. Aku pikir tidak ada gunanya...

Kamu akan pergi. Apapun itu, kamu tetap akan pergi. Mungkin jauh, mungkin juga tidak sejauh itu. Tapi kita tidak akan bertemu sesering dulu lagi. Tidak bisa menemukan kesamaan sekerap yang sudah-sudah. Aku tahu kamu sudah salah berpikir tentang aku.

Bagaimana jika aku katakan kalau 'kamu' yang aku ceritakan dalam tulisan-tulisanku itu adalah kamu? Apakah kamu akan mempercayainya? Ah, kamu atau aku yang tidak punya kepercayaan diri sebenarnya? Atau memang semua ini tidak pernah ada?

Tuesday, 2 October 2012

Komitmen Baru Kepada Diri Sendiri

Sejak mengajar di sekolah Minggu, aku jadi sering menengok kembali pribadiku dan hidup yang aku jalani. Aku sadar, sebenarnya bukan hanya mereka yang belajar dari kakak-kakaknya, tetapi aku sebagai salah satu kakak pendamping mereka juga belajar banyak hal dari mereka.

Kepolosan mereka membuat aku sadar bahwa sering kali aku terlalu banyak berpikir. Keceriaan mereka membuat aku sadar aku berekspektasi terlalu tinggi. Anak kecil tidak pernah menaruh curiga, anak kecil selalu mudah bahagia.

Minggu ini, aku berpikir dan akhirnya membuat beberapa komitmen untuk diriku sendiri. Aku ingin menjadi kakak pendamping yang lebih baik lagi untuk mereka.

1. Nggak lagi berkata kasar
Waktu kecil, aku nggak pernah ngomong kasar. Semakin ke sini, terbiasa dengan pergaulan dan mendengar ini-itu, prinsip ini sedikit luntur. Memang bukan sampai 'hewan-hewan' yang keluar, tetapi aku tetap saja merasa tidak pantas. Aku nggak mau mengajarkan mereka berkata manis, tetapi aku sendiri mengatakan hal-hal yang kurang pantas. Mengajari dengan keteladanan.

2. Belajar lebih sabar
Malu rasanya kalau setiap Minggu aku membimbing mereka untuk berbaris kala menerima berkat dari Pastor, tetapi aku sendiri tidak bisa mengerti arti kesabaran.

3. Bicara jujur, tidak bohong, tidak menutup-nutupi sekalipun itu demi kebaikan
Setiap kata-kata dari mereka yang sering kali mengejutkanku karena kepolosan mereka, membuatku berpikir, dunia memang lebih baik dijalankan dengan kepolosan dan kejujuran daripada intrik-intrik yang memuakkan, dan rasa segan untuk menghindari konflik.

Ah... Aku jadi rindu anak-anak. Ayolah, cepat hari Minggu! Haha... Kangen rasanya pada mereka. Hanya ketika bersama mereka aku bisa melupakan tugas kuliahku, tulisan-tulisan yang harus diselesaikan, gesekan-gesekan dengan teman, dan kebimbangan perasaanku sendiri.

Ini saatnya membenahi kembali hidupku! :)

Monday, 1 October 2012

Oleh-Oleh Dari Penjelajah Perbedaan

"Untuk belajar menjadi orang baik dibutuhkan waktu minimal 3 tahun, tetapi untuk mengajari orang untuk berbuat tidak baik cukup dalam waktu 3 hari saja."

-Pepatah Tionghoa-

"Yang susah itu mengislamkan orang Islam sendiri."

-K.H. Ahmad Haedar-

"Kami menjalin kerukunan di sini. Kalau ada yang meninggal kami ikut sampai proses kremasi. Prinsip kami satu, kita ini tetangga."

-H. Ubaidillah-

"Keberagaman itu kekayaan. Meski kami Katolik, yang bukan Katolik juga saudara. Dalam Gaudium et spes, semua orang akan diselamatkan pada akhir zaman, siapapun itu, asalkan punya niat yang baik."

-Pastor Oscar , SS. CC-

"Jika kita mau hidup selaras dengan Tuhan, hiduplah selaras dengan alam. Di agama kami tidak ada konsep mengenai surga dan neraka. Semua orang yang sudah meninggal akan kembali ke pangkuan Thian. Urusan nanti di sana mau diapakan, ya itu urusan manusia tersebut bersama Thian nanti."

-Ko A Kiun-

"Kamu tahu kenapa sekarang banyak kerusuhan antar agama? Mereka yang rusuh itu belum menghayati agamanya. Semua agama sama, mengajarkan cinta kasih. Kamu tahu apa yang saya ucapin setiap pagi sebelum saya mulai beraktifitas? Saya bilang, bismillahirrahmanirrahim."

-Om Tommy-

Tadi adalah beberapa oleh-oleh quotation-quotation mengenai kerukunan dan keberagaman yang menurutku menarik, yang aku dapatkan kemarin selama kunjungan ke beberapa tempat ibadat bersama dengan para peserta Pelatihan Jurnalistik Lintas Agama yang diadakan Forum Lintas Agama Deklarasi Sancang.

Masih ada banyak lagi pelajaran berharga di antaranya kami belajar mengenal religiositas setiap agama masing-masingnya seperti apa, sejarahnya, bagaimana menjaga kerukunan, termasuk menemukan jawaban-jawaban kenapa perpecahan terjadi. Oh iya, kemarin juga aku berkesempatan mencicipi makanan-makanan khusus untuk para vegetarian. Dan rasanya ternyata, ENAK! Aku nggak ngerti bagaimana caranya tepung terigu diolah menjadi sate yang seenak sate ayam lazimnya.

Benar-benar sebuah cara yang menyenangkan untuk menutup bulan September, dan sebuah pengalaman yang luar biasa mahal. Besok, lusa, dan hari-hari ke depannya lagi, aku rasa aku bisa menatap perbedaan dengan lebih terang lagi.

O iya, satu lagi oleh-oleh dari kunjungan ke rumah ibadat kemarin. Oleh-oleh yang terakhir adalah...
Setoples permen yang dikemas lucu, buah tangan dari tante-tante di Vihara Darma Ramsi

Friday, 28 September 2012

Bahagia

Kali ini aku ingin menulis soal kebahagiaan. Terinspirasi dari notes yang ditulis oleh Rio Rahadian mengenai kebahagiaan yang membuat aku merenung beberapa hari ini. Notesnya bisa dilihat di sini.

Salah satu kalimat yang paling aku suka di tulisan tersebut adalah:
Aku senang bahwa aku masih bisa senang."
Simple, dalam. Kalimat itu membuat aku berpikir, apakah aku bahagia? Kalau iya, kenapa? Terlalu banyak berpikir ya? Kalau diukur dengan standar kebahagiaan orang-orang Thailand seperti yang digambarkan dalam buku Geography of Bliss karya Eric Weiner, aku pasti sudah dikategorikan tidak bahagia karena aku terlalu banyak bepikir. Menurut mereka, kebahagiaan adalah tidak berpikir. Aku, kebanyakan berpikir. :D

Tapi kebahagiaan nyatanya memang relatif, tidak bisa dipukul rata standarnya. Buktinya, setelah beberapa hari ini aku merenungkan hidupku, aku bisa berkata dengan yakin, AKU BAHAGIA! Dan alasannya memang bukan karena punya nilai bagus, atau punya pacar baru. Bukan.

Nilai bagus dan pacar baru memang membuat bahagia. Tetapi kebahagiaan seperti itu bisa diibaratkan dengan balon yang berisi gas hidrogen. Melayang, menari riang. Tapi lama-kelamaan gasnya habis, kemudian balon tersebut lama-kelamaan akan turun, hingga kemudian tidak lagi bisa terbang.

Aku sadar, aku bahagia karena hal-hal yang lebih baik dari itu.

Aku bahagia bisa hidup sampai hari ini. Sehat, meski kurus. :D . Tapi aku bisa makan sepuasku tanpa perlu takut gemuk dan repot diet. Bukankah itu juga luar biasa?

Aku bahagia kelima inderaku masih berfungsi sempurna sehingga aku bisa menyaksikan berbagai hal, mendengar banyak, dan merasa banyak. Keindahan matahari pagi, sengat mentari siang, merasakan peluh mengaliri tubuhku, memandangi dan menangkap titik-titik hujan, aroma tanah basah, jingganya senja, sampai gelapnya malam.

Aku bahagia masih bisa mengobrol dengan teman-teman lama dan teman-teman yang baru. Aku bahagia karena tidak pernah berhenti merasakan Tuhan dalam setiap detik hidupku. Aku punya anak-anak yang lucu dan selalu berhasil membuatku tidak pernah berhenti merasa rindu di BIA. Aku bahagia punya seorang Mama yang luar biasa hebat.

Sejak SMP, aku termasuk tipe orang yang selalu mengejar hal-hal besar dalam hidupnya. Mimpiku besar, sebanding dengan usahaku dulu. Sekarang, mimpiku pun masih besar. Aku masih ingin menjadi seorang jurnalis, memotret banyak hal di dunia ini melalui tulisan, masih ingin keliling dunia, masih ingin punya keluarga kecil yang bahagia.

Tapi untuk sekarang, semua rutinitas ini cukup. Kamar kosan yang nyaman dengan jendela besar yang selalu membuatku merasa bebas, hujan yang setia, ribuan MP3 di laptop, film-film animasi yang siap menghibur, orang-orang yang menyenangkan dengan segala keunikannya di kosan, di kelas, dan di kampus. Penantian akan tanggal 22 Desember, anak-anak di BIA, pacar yang hebat, Mama yang luar biasa, semua itu sudah cukup membuat aku merasa bahagia sekarang ini. Mungkin itu yang menyebabkan akhir-akhir ini aku tidak terlalu mengejar banyak hal.

Tapi kalau dipikir-pikir, untuk sesaat, kita memang perlu melupakan hal-hal besar dalam hidup kita, dan menengok hal-hal kecil.

Jadi, untuk sekarang aku bisa berkata, "Aku bahagia...."