Monday 23 July 2012

Untuk Senja,

(meneguk secangkir kopi kenangan)

Terlalu lambat untuk sebuah kesadaran. Keputusanku salah Sayang.

Kamu pergi terlalu jauh. Jejakmu hilang dicumbui angin. Melayang meninggalkan butiran pasir tak berpola. Mungkinkah memang tak ada jejak? Kamu tidak mau meninggalkan tanda, bisa jadi kamu memang enggan pulang. Memang bukan lagi aku rumahmu sekarang.


Bukan aku...
Bukan lagi belai dan senyumku temani istirahat malammu. 
Bukan lagi aku bersenandung buai lelapkanmu. 
Wajah damaimu kini berwujud bayang-bayang kosong.
Dan di sana, seseorang lain memiliki teduh damai sinar matamu.
Sinar mata yang dulu berkata kamu mengerti aku.
Mencintai aku...

Semoga saja bukan namaku yang kamu sebut kala lelapmu di sana.


Silakan kamu sebut, tapi
cukuplah hatimu bicara
atau gerak bibir tanpa suara.
Setidaknya aku tahu bahwa jujurmu, kamu masih mau aku. Aku masih gadismu... Dan kamu masih orang yang sama yang aku kenal bertahun-tahun lalu, ketika aku masih belia dan tidak mengerti bahwa cinta dan pernikahan itu tidak selalu berteman akrab. Ada kalanya mereka tidak saling membutuhkan.

Lalu? Lalu apa? Kamu masih penasaran apa aku masih menunggu?
Menunggu, tidak Sayang... Mencintai, iya. Cintaku kini berwujud rintik hujan. Ku bisikkan pada tetes-tetes hujan yang sempat lewat di hadapanku, sebelum kemudian jatuh dan meresap ke dalam tanah. Aku tahu ia akan mengalir, kembali ke laut, sungai, ataupun danau, kemudian menguap dan membentuk awan mendung.

Setelah itu, turun sebagai hujan di tempatmu.
Di hadapanmu...






P.S aku berusaha memenuhi janjiku dulu. Belajar mencintai seseorang selain kamu.
Belum berhasil 100%, tetapi aku lebih baik sekarang. :)

0 comments:

Post a Comment