Wednesday 26 September 2012

#1. Reality














Membuat secangkir kopi untukmu selalu menjadi sebuah moment sakral bagiku. Secangkir kopi dengan dua sendok gula dan satu sendok krim, diaduk delapan belas kali searah dengan jarum jam. Jumlah adukan tidak boleh kurang, tidak boleh lebih, karena kamu akan tahu. Kamu akan bisa merasakannya, rasa kopimu berubah. Lalu kamu tidak akan meminumnya lebih dari seteguk. Aku sudah hapal. Dua tahun mencintaimu, mengamatimu, di dekatmu, aku sudah hapal.

“Diminum dulu kopinya..,”ujarku mesra sambil meletakkan cangkir kopi di atas meja, tidak jauh dari laptopmu. “Supaya kamu bisa cepat tidur.”

Kamu punya kelainan terhadap pengaruh kafein. Kebanyakan orang akan terjaga setelah meminum kopi, tetapi bagimu kopi malah seperti obat tidur. Membuatmu tidur lebih lelap dari biasanya, sangat membantu di malam-malam insomniamu.

Aku mengempaskan tubuhku ke sampingmu, meletakkan kepalaku di bahumu, membiarkan puncak kepalaku lebih dekat dengan penciumanmu. Supaya kamu tahu hari ini aku baru saja mencuci rambut. Kamu selalu suka aroma shampooku bukan? Ayo, hirup...

Kamu masih asyik menekuni layar laptopmu yang menampilkan tampilan Microsoft Word. Jemari panjangmu lincah menari di atas keyboard, merangkai huruf menjadi kata, membentuk kalimat, menghasilkan paragraf demi paragraf. “Kamu nulis apa?”

Kamu meminimize tampilan Word di laptopmu. Kini layar itu menampilkan foto kita berdua yang sedang menikmati es krim. Indah sekali kelihatannya. Kapan terakhir kali kita menikmati es krim bersama?

“Nulis cerita,”jawabmu sambil menyenderkan punggung ke sofa, dan merangkulku lebih erat.
“Cerita apa lagi? Tentang aku ya? Tentang kita?”tanyaku antusias.
“Hm... Ada tidak ya tentang kamu...?”godamu sambil memasang ekspresi ragu.
“Iiiih... Dasar jail!”seruku sembari mencubit perutmu. Kamu tertawa, puas karena berhasil menggodaku. "Menyenangkan sekali bisa seperti ini. Kalaupun ini mimpi, aku harap aku tidak terbangun."

Kamu tergelak sebentar, kemudian menghela pelukanku. Kedua telapak tanganmu yang besar itu kau tempelkan di kedua pipiku dan kau menatap mataku dalam-dalam. Kedua bola mata kelabu itu, begitu misterius, sama seperti pemiliknya. Terlalu misterius.

Kedua sudut bibirmu yang tipis itu terangkat sedikit, membentuk sebuah senyuman tipis. Kepalamu menggeleng lemah, "Tidak bisa. Kamu harus bangun, sekarang."

Aku terkesiap, dan di sinilah aku. Berdiri di dapur, menghadapi secangkir kopi dengan dua sendok gula, satu sendok krim, dan sudah diaduk delapan belas kali searah jarum jam. Siap diantarkan pada kamu yang sedang sibuk menekuni laptop.

Bedanya, setelah aku meletakkan cangkir kopi di atas meja nanti, tidak akan ada adegan menyandarkan kepala di bahumu, apalagi memelukmu mesra. Tidak, terlalu berlebihan untuk dilakukan oleh seorang sahabat.

"Diminum dulu kopinya...,"ujarku sambil meletakkan cangkir kopi di atas meja, tidak jauh dari laptopmu.

Televisi yang sejak tadi menyala sedang menayangkan Animal Planet. Membosankan. Aku menghempaskan tubuhku ke sofa dan mengambil salah satu majalah dari tumpukan yang ada di atas meja. Membukanya, membolak-balik halamannya, menggunakannya sebagai kamuflase agar kamu tidak tahu kalau aku sedang memperhatikanmu seperti biasanya.

Seperti biasanya, sekalipun dari jarak sedekat ini, aku cuma bisa mengagumimu dalam diam. Memimpikan bisa memelukmu dari jarak 0 cm, merasakan jemarimu menelusuri helai rambutku.

Kamu masih saja asyik dengan laptopmu. Suara ketikan terdengar merdu, rangkaian huruf di layar laptopmu semakin panjang. Cerita apa yang sedang kamu buat? Pernahkah itu tentang aku?

Kamu itu mimpiku. Mimpi yang semakin lama aku kubur, aku tinggalkan, karena aku anggap tidak mungkin jadi kenyataan. Dua tahun ini, aku diam dalam zona nyaman sebagai teman. Aku tahu lama-kelamaan aku akan mencapai titik bosan, dan kebosanan itu sudah dimulai sekarang.

Tidak, tidak bisa terus seperti ini. Aku mau salah satu cerita yang kamu tulis itu untuk aku. Aku mau salah satu cerita itu tentang kita. Aku mau sebentar saja fokusmu itu menjadi milikku, merasakan belai jarimu di rambutku. Tidak, tidak bisa terus seperti ini. Tidak bisa terus menunggu dan diam. Aku harus memulai langkah mewujudkan. Kamu akan menulis cerita mengenai kita berdua, tetapi aku yang harus memulainya. Dan awal itu ditandai dengan kalimat,

"Aku bosan bermimpi. Aku bosan menjadi temanmu..."

Reality
Music and Lyrics by Adhitia Sofyan
I have been trying lately to close my eyes
Those little lambs complaining they’re getting tired
Try as I may and I would fell off my bed
Don’t tell me no bedtime stories,
They just won’t do this time
I know just what the cure is it’s gonna work
I need to get you by my side
There’s no other way

But every time I try to catch you I stumble and I fall
How do I begin to finish this never ending fairy tale
I need to get back to reality
Every time you do that thing the thing you always do
I ended up in misery while starring at your photograph
I’m loosing my grip to reality

I woke up turn on the TV for a thousand times
Reruns I’ve seen to many on the animal show
The tiger runs after the dear and he finally catches on

I see the end of the rainbow not far away
This time I’m gonna let it slide


0 comments:

Post a Comment