Tuesday 25 September 2012

Antre Yuk!

Mengantre. Kalau dipikirkan, rasanya mudah. Kita sudah diajarkan untuk mengantre sejak kecil. Sejak aku masuk playgroup, TK, SD, SMP, sampai SMA, sebelum masuk ke kelas harus berbaris terlebih dahulu. Mengantre untuk masuk ke kelas satu per satu. Waktu TK, setiap minggu ada hari minum susu. Saat itu kami juga diajarkan untuk mengantre, membawa gelas susu kami masing-masing, dan tidak berebut. Aku rasa semua orang juga mempelajari hal yang sama mengenai budaya antre ini. Tapi, kenapa faktanya pada prakteknya mengantre itu jarang dilakukan ya?

Sering kita temui orang yang tidak mau susah-susah mengantre dan memilih jalan pintas. Mulai dari cara halus dengan mengandalkan koneksi, sampai cara primitif dengan menyerobot antrean. Cibiran dan keluhan dari orang-orang lain yang sebelumnya sudah mengantre biasanya tidak dihiraukan. Kebanyakan orang tidak mau sabar.

Padahal, antrean juga merupakan salah satu wajah dari suatu bangsa. Untuk bangsa dengan pikiran maju dan masyarakat yang beradab, budaya antre seharusnya sudah tidak asing dan tidak sulit lagi diterapkan. Budaya tersebut seharusnya sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sama halnya dengan bersalaman menggunakan tangan kanan misalnya. Sebaliknya, ketika antrean itu kacau, penuh aksi saling serobot, dan atmosfer ketidak sabaran, silakan simpulkan sendiri karakter bangsa tersebut seperti apa.

Sayang sekali. Padahal, dengan mengantre itu artinya:
1. Kita belajar sabar
Sabar menunggu giliran, sabar untuk mendapatkan pelayanan.

2. Kita belajar pula menghormati orang lain. 
Kita belajar menghormati mereka yang mengantre bersama kita dengan tetap menjaga kenyamanan bersama, dan tidak mementingkan diri sendiri.

3. Kita belajar rendah hati
Aku jadi ingat kotbah Pastor hari Minggu kemarin. Pastor Budi mengatakan bahwa dengan mau tertib mengantre, itu artinya kita juga menunjukkan sikap yang rendah hati. Kenapa rendah hati? Karena kita tidak merasa diri kita yang paling penting dan paling punya banyak urusan ketimbang orang lain.

Sekarang, aku akui mengantre itu jadi dilematis. Mau tertib, tapi rasanya gondok kalau melihat mereka yang menyerobot atau menggunakan jalan belakang. Mau tidak tertib, masih merasa diri sebagai manusia yang punya akal dan rasa. Ditambah lagi malu rasanya pada diri sendiri kalau tidak mengantre dengan tertib, sementara setiap hari Minggu aku mengajari anak-anak di sekolah Minggu untuk mengantre ketika meminta berkat dari Pastor. Kalau yang satu ini, sebut saja pertanggung jawaban moral.

Tapi jujur, jauh dalam hati aku berandai-andai bagaimana kalau urusan antre-mengantre ini bisa berjalan dengan baik? Pasti kehidupan akan terasa lebih nyaman, dan kita bisa melepaskan napas dengan satu tingkat lebih lega. Kira-kira, apakah khayalan ini terlalu muluk ya?

0 comments:

Post a Comment