Tuesday 18 September 2012

Curahan Soal Ironi yang Terjadi



Tuhan adalah masalah iman, dan agama adalah sarana. Sarana mencari jawaban, sarana menemukan kedamaian. Seperti yang harus dilakukan secara umumnya pada budaya, agama tidak selayaknya sekadar diwariskan, namun diputuskan, dipelajari, dihayati. Istilahku, menjadi daging.

Banyak orang mempertanyakan bahkan menghakimi mereka yang atheis, yang gamang menentukan, bahkan mereka yang pada akhirnya membuat keputusan. Kafir, murtad, penghuni neraka, berbagai cacian lain. Sampai di sini aku bertanya-tanya apakah mencaci dibenarkan oleh Tuhan, oleh agama? Apa hak seorang manusia menghakimi manusia lainnya sebagai penghuni neraka sementara kita punya keterbatasan indera dan batas pemikiran? Apa keistimewaan yang dimiliki manusia hingga ia boleh menyiksa sesamanya atas nama agama?

Sedih. Sedih ketika menyaksikan agama dijadikan sarana propaganda. Sedih jika agama dijadikan senjata, dijadikan alat provokasi, dijadikan barang dagangan, dijadikan alasan untuk melegitimasi seluruh tindakan. Ketika agama yang seharusnya mengikat dan mempersatukan justru menjadi penyebab perdebatan, perseteruan, perpecahan, tidakkah Tuhan yang katanya mereka sembah itu sedih melihat umat-Nya saling membunuh?

Terkadang kamu dan aku ini terlalu sombong. Terlalu merasa yang paling mengenal dan mengerti maunya Tuhan. Terlalu menuhankan agama hingga akhirnya justru lupa pada Tuhan sendiri. Kalau ada seseorang yang memilih untuk menjadi atheis, lalu kenapa harus ikut memusingkannya? Biarkan dia pada pilihannya, dan bertanggung jawab sendiri pada pilihannya itu. Ketika dia bertanya dan ingin mengetahui soal agama yang kita anut, dan dia masih saja tidak menerima dan melontarkan argumen-argumennya, maka biarkanlah dan kenapa harus menjadi emosi? Tiba-tiba saja aku berpikir mungkin mereka yang emosi ketika bertanya-jawab dengan orang yang atheis itu mungkin saja marah karena merasa sedikit gamang dengan agama mereka. Mungkin karena pertanyaan-pertanyaan itu pada akhirnya berhasil membuat mereka sebentar saja berpikir, "Benarkah Tuhan itu ada?"

Begitu pula terhadap mereka yang pada suatu ketika memutuskan untuk pindah agama. Murtad, pengkhianat, dan kembali lagi, calon penghuni neraka. Semua sebutan dan makian. Padahal mana yang lebih penting di antara agama dengan kualitas keimanan? Tuhan itu satu, caranya yang berbeda. Kalau seseorang merasa tidak cocok mendekati dan mengenal Tuhan dengan sebuah cara, dan merasa lebih mampu menghayati Dia dengan cara yang lain, kenapa harus dijadikan persoalan ketika hal tersebut tidak mengganggu kita? Apakah lebih baik memaksa tubuh seseorang tinggal sementara hatinya berada di tempat lain?

Ada banyak kenyataan ironis yang terjadi atas nama agama. Banyak kesempatan ditutup, banyak tembok dibangun, banyak darah tumpah, air mata mengalir, kisah yang harus berakhir, pengorbanan yang sia-sia. Mungkin ini saatnya kita bertanya kenapa agama bisa menjadi seperti sekarang?

Tulisan ini hanya curahan yang netral. Tidak ada maksud menyudutkan, dan bukan sebuah pembelaan diri. Hanya saja aku ingin ketika aku menulis sesuatu yang berkaitan dengan agama, orang berhenti bertanya, "Agama kamu apa?"


0 comments:

Post a Comment