Friday 7 September 2012

Munir : Pengingat di Antara Kita yang Memilih Lupa



7 September 2012. Genap delapan tahun seorang pejuang Hak Asasi Manusia, Munir Said Thalib, pergi. Sampai hari ini, kelanjutan dari penanganan kasus kematiannya belum jelas.

Ketimbang membicarakan ketidak jelasan kasusnya, aku malah ingin merenungkan perjuangannya dahulu. Aku ingat saat itu aku masih di bangku SD. Tidak terlalu menaruh perhatian besar pada sosok Munir, tetapi sosoknya tetap memiliki tempat tersendiri sebagai orang yang gigih memperjuangkan keadilan. Baru setelah menginjak SMP, ketika sedikit demi sedikit aku mulai membaca lebih banyak mengenai Munir, aku merasa bangga Indonesia pernah memiliki orang seperti Munir. Seseorang yang berani berteriak untuk mereka yang hilang dan dilupakan ketika orang lain memilih diam dan melupakan.

Bagi Munir, pembunuhan tetaplah pembunuhan. Tidak bisa ditolerir demi alasan apapun. Tapi pada akhirnya, dia yang berjuang untuk menyuarakan pengusutan untuk mereka yang hilang dan dibunuh pada tragedi-tragedi kemanusiaan pada rentang tahun 1997-1998 itu juga harus berakhir dengan sebuah pembunuhan. Dan sama seperti yang mereka perjuangkan, kasusnya pun belum jelas sampai sekarang.

Sesekali aku berpikir, semasa hidupnya, pernahkah Munir sekali saja berpikir bahwa semua yang dilakukannya sia-sia? Tipikal. Orang-orang seperti Munir yang berjuang dengan gigih untuk menegakkan keadilan, sering kali sendirian. Orang-orang mengaguminya, tetapi tidak mau terlalu banyak terlibat dengannya. Pernahkah ia merasa semuanya sia-sia manakala sampai sekarang, semua yang dia perjuangkan pun tidak terlihat hasilnya, termasuk kelanjutan kasusnya? Keadilan masih saja mahal dan berpihak.

Tapi sekalipun Munir pernah berpikir seperti itu, aku harap dia tetap tahu dia tidak pernah sendirian. Jauh di luar sana, banyak orang digerakkan oleh Munir. Banyak orang terinspirasi oleh Munir. Banyak orang mengidolakannya dan setuju dengannya. Termasuk aku. Sampai sekarang.

Munir mungkin sudah tidak ada. Tapi dia tetap ada dalam diri orang-orang yang telah berhasil ia inspirasi semasa hidupnya. Perjuangannya tetap diingat dan kegigihan itu masih ada. Perjuangan HAM di Indonesia saat ini memang belum jelas, tetapi kesadaran untuk memperjuangkannya sudah lebih baik, dan Munir turut andil dalam terwujudnya kondisi ini.

Aku bertanya-tanya, seandainya Munir masih hidup sampai hari ini, apa yang akan dikatakannya mengenai kasus Sampang atau kasus pengrusakan gereja? Apa pendapatnya soal Nenek yang harus berhadapan dengan meja hijau akibat mencuri kakao sementara para koruptor dibiarkan bebas melancong kesana-kemari?



Tapi di atas semua itu, delapan tahun kepergian Munir, aku ingin mengatakan bahwa setelah dia pergi masih banyak orang yang mengikuti jejaknya, MENOLAK UNTUK LUPA.

0 comments:

Post a Comment