Friday 10 August 2012

Merasa Terasing


Saat ini sedang ada di Cirebon. Memanfaatkan kesempatan dua minggu libur sejenak dari pelajaran katekisasi. Rasanya melegakan. Tapi sejujurnya, aku berharap kalau saja bisa menghabiskan dua minggu ini di tempat lain, selain di sini. :(

Sejak dulu, tidak pernah 100% merasa nyaman di sini. Aku tidak pernah bisa merasa cocok dengan budaya basa-basi, ramah-tamah, saling sungkan, dan kekolektivan di sekitarku. Aku bukan tipe orang yang bisa menjadi munafik hanya demi menjaga perasaan orang lain, padahal yang orang itu lakukan salah. Aku bukan tipe orang yang betah menghadapi basa-basi tidak penting yang menghabiskan waktu. Bagiku, apa yang kamu mau, katakan! Tidak perlu berputar-putar. Aku lelah menunggu sesuatu atau seseorang yang tidak penting hanya demi alasan kebersamaan. Aku lelah dengan alasan takut melukai perasaan. Kenapa manusia harus sesensitif itu?

Bagiku, merasa nyaman di tempat ini cukup sulit. Di sini, aku merasa dibedakan. Semua gerak-gerik diperhatikan tetangga, dipergunjingkan. Informasi setengah-setengah mengenai masa kecilku jadi bahan lezat untuk obrolan. Demi seluruh umat manusia di bumi, kenapa orang-orang itu tidak bisa hidup tanpa gosip? Baiklah, paragraf yang ini betul-betul murni sebuah keluhan.

Kenapa ya? Mungkin kalau mengambil apa yang dikatakan oleh Eric Weiner dalam buku Geography of Bliss, aku ini terjerat epifani yang sangat jelas di mana aku menyadari bahwa aku lahir di negara yang salah. Kalau dipersempit, aku lahir di tempat dan keluarga besar yang salah. Ditambah lagi, tinggal di lingkungan yang salah. 

Di sini, aku benar-benar merasa terasing. Aku tidak tahu apakah hal seperti ini sebenarnya salah atau tidak. Mengutip W.S Rendra pada salah satu puisinya, semua pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang percuma saja ketika ia merasa terasing di tempat asalnya. Kalau begitu apakah semua ini percuma sebenarnya? Apakah salah merasa terasing seperti ini?

0 comments:

Post a Comment