Friday 3 August 2012

Pengakuan Seorang Mantan Tukang Bully

Malam ini mungkin akan menjadi malam pengakuan. Terlalu banyak pengakuan digelar di sini.

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan soal kasus bullying yang dilakukan 7 siswa SMA Don Bosco terhadap juniornya. Berbagai opini muncul. Topik mengenai bullying kembali hangat setelah selama ini seolah ditanggapi dengan dingin.

Di postingan ini, aku mau mengaku. Dulu, sekali waktu, aku adalah seorang pelaku bullying. Tidak secara fisik memang, lebih secara psikis. Tapi efeknya sama, atau bahkan mungkin lebih besar. Kami mengucilkan seorang anak, mengejeknya, menyindirnya, tidak mengacuhkannya. Bersikap seolah dia itu tidak pernah ada dalam ruang udara kami, berusaha membuatnya merasa dirinya itu sampah, loser.

Sekarang kalau mengingat dan memikirkan itu, aku sedih. Aku melakukan itu saat kelas 5 SD dan hal itu berlangsung sampai aku lulus SD. Demi Tuhan, aku sendiri tidak mengerti kenapa saat itu, aku bisa berbuat seperti itu. Padahal aku dan tiga orang temanku yang lain adalah anak berprestasi, terkenal baik dan tidak pernah bermasalah di depan guru. Sampai sekarang, tidak pernah ada satupun guru yang tahu apa yang kami lakukan pada anak tersebut.

Tapi kalau dipikirkan sekarang, dulu apa yang kami lakukan betul-betul kejam. Tidak perlu ku deskripsikan, tetapi yang kami lakukan dulu lebih dari sekadar hanya mencemooh. Semua itu memang tidak menyebabkan luka fisik. Tapi apakah hal tersebut tidak menimbulkan luka mental pada anak yang kami perlakukan (terlalu) buruk tersebut?

Untungnya memasuki SMP, aku mulai berpikir lebih dalam dan mungkin bisa dibilang lebih dewasa. Tidak ada bully, tidak ada tekanan. Yang jelas kalau dipikirkan sekarang, aku melakukan semua itu hanya karena aku merasa keren, dan bergengsi tinggi. Padahal semua yang aku lakukan itu tidak ada yang baik. Bahkan teramat buruk dan tidak keren sama sekali. Tapi waktu kecil dulu, aku memang egois dan keras kepala. Manja dan semaunya.

Ada tiga anak yang dulu sering kami bully secara psikis. Satu di antaranya, sudah meninggal karena sakit saat kami SMP sebelum aku sempat meminta maaf. Dua di antaranya, menjalani hidup masing-masing. Entah dengan membawa luka batin atau tidak.

Rasanya aku ingin semua orang bisa menyadari bahwa bullying itu benar-benar buruk. Bullying menimbulkan luka, tidak hanya untuk korbannya, tetapi juga untuk mantan pelaku sepertiku. Kalau bisa kembali ke masa lalu, rasanya aku ingin menampar diriku sendiri dan membangunkannya dari kesenangan dan kebanggaan yang hampa. Sekarang, aku hanya berpikir betapa kriminalnya aku ketika kecil dulu.

0 comments:

Post a Comment